Kunjungan para pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Istanbul,
Turki, digunakan untuk mengambil inspirasi dari sang penakluk
Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih. Para kader PKS bisa mengambil banyak
pelajaran dari sang pemimpin muda itu.
Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid membuka diskusi dengan
membeberkan soal sejarah penaklukan kota Konstantinopel pada abad ke-15
hingga gaya kepemimpinan Muhammad Al-Fatih yang begitu fenomenal.
Diskusi yang digelar di benteng Konstatinopel, taman museum Panorama,
Istanbul, Turki, Ahad (28/4), diikuti Presiden PKS Anis Matta dan Ketua
Komisi I DPR dari PKS, Mahfudz Siddik. ”Oleh Muhammad Al-Fatih, kota
ini diubah namanya dari Konstantinopel jadi Islambul, entah kenapa jadi
Istanbul sekarang,” kata Hidayat.
Dari sosok Muhammad Al-Fatih, lanjut Hidayat, sejumlah inspirasi bisa
ditiru oleh para kader PKS. Di antarnya, pemimpin muda itu memiliki
kepribadian yang agung dan sangat suka dengan sejarah. “Sehingga dia
tidak mengulangi lagi kegagalan pemimpin sebelumnya,” tuturnya.
Tak hanya itu, Al-Fatih juga dikenal sebagai orang yang detail dalam
memperhatikan hal-hal di sekelilingnya. Mulai dari urusan administrasi
hingga masalah militer. Pria yang menaklukkan Konstantinopel di usia 19
tahun itu juga menaruh minat pada perkembangan teknologi. “Beliau juga
menguasai banyak bahasa asing,” terang Hidayat.
Meski demikian, Hidayat mengingatkan para kader PKS, untuk
menundukkan kota Konstantinopel itu diperlukan waktu hingga 8 abad. Saat
ini, PKS yang baru berusia 15 tahun masih membutuhkan perjalanan
panjang untuk menggapai kesuksesan. ”Tetapi dengan kepemimpinan unggul,
maka waktu yang panjang itu bisa dipotong pendek,” pesan Hidayat.
Mahfudz Siddik dalam diskusi itu berbicara tentang kaitannya gaya
kepemimpinan Al-Fatih dengan politik hubungan luar negeri di Indonesia.
Ia mengisahkan tiga fase politik luar negeri Indonesia, dan menurutnya
yang lebih baik adalah ketika masa Orde Lama. ”Saat ini politik luar
negeri konfrontatif, saat itu leverage politik meningkat sangat kuat, tidak ada orang tidak kenal sosok Soekarno,” imbuhnya.
Di era Orde Baru dan Reformasi, lanjut Mahfudz, politik luar negeri
Indonesia lebih akomodatif. Ke depannya ia berharap pemimpin Indonesia
lebih bisa memainkan peranan yang lebih besar di dunia internasional.
Mengingat latar belakangnya sebagai negeri dengan penduduk Muslim
terbesar di dunia.
Redaktur: R.S. Permana
http://news.fimadani.com
No comments:
Post a Comment