Thursday 2 May 2013

Kunjungan Petinggi PKS ke Istambul Turki



Kunjungan para pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Istanbul, Turki, digunakan untuk mengambil inspirasi dari sang penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih. Para kader PKS bisa mengambil banyak pelajaran dari sang pemimpin muda itu.
Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid membuka diskusi dengan membeberkan soal sejarah penaklukan kota Konstantinopel pada abad ke-15 hingga gaya kepemimpinan Muhammad Al-Fatih yang begitu fenomenal.
Diskusi yang digelar di benteng Konstatinopel, taman museum Panorama, Istanbul, Turki, Ahad (28/4), diikuti Presiden PKS Anis Matta dan Ketua Komisi I DPR dari PKS, Mahfudz Siddik. ”Oleh Muhammad Al-Fatih, kota ini diubah namanya dari Konstantinopel jadi Islambul, entah kenapa jadi Istanbul sekarang,” kata Hidayat.

Dari sosok Muhammad Al-Fatih, lanjut Hidayat, sejumlah inspirasi bisa ditiru oleh para kader PKS. Di antarnya, pemimpin muda itu memiliki kepribadian yang agung dan sangat suka dengan sejarah. “Sehingga dia tidak mengulangi lagi kegagalan pemimpin sebelumnya,” tuturnya.
Tak hanya itu, Al-Fatih juga dikenal sebagai orang yang detail dalam memperhatikan hal-hal di sekelilingnya. Mulai dari urusan administrasi hingga masalah militer. Pria yang menaklukkan Konstantinopel di usia 19 tahun itu juga menaruh minat pada perkembangan teknologi. “Beliau juga menguasai banyak bahasa asing,” terang Hidayat.
Meski demikian, Hidayat mengingatkan para kader PKS, untuk menundukkan kota Konstantinopel itu diperlukan waktu hingga 8 abad. Saat ini, PKS yang baru berusia 15 tahun masih membutuhkan perjalanan panjang untuk menggapai kesuksesan. ”Tetapi dengan kepemimpinan unggul, maka waktu yang panjang itu bisa dipotong pendek,” pesan Hidayat.
Mahfudz Siddik dalam diskusi itu berbicara tentang kaitannya gaya kepemimpinan Al-Fatih dengan politik hubungan luar negeri di Indonesia. Ia mengisahkan tiga fase politik luar negeri Indonesia, dan menurutnya yang lebih baik adalah ketika masa Orde Lama. ”Saat ini politik luar negeri konfrontatif, saat itu leverage politik meningkat sangat kuat, tidak ada orang tidak kenal sosok Soekarno,” imbuhnya.
Di era Orde Baru dan Reformasi, lanjut Mahfudz, politik luar negeri Indonesia lebih akomodatif. Ke depannya ia berharap pemimpin Indonesia lebih bisa memainkan peranan yang lebih besar di dunia internasional. Mengingat latar belakangnya sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Redaktur: R.S. Permana 
http://news.fimadani.com

No comments:

Post a Comment